Sabtu, 10 November 2012

KEBAIKAN itu Menular loh..

Sepulang dari kampus, saya pergi ke bank untuk menabung, atau istilah kerennya melakukan setoran, bukan penarikan. Ini merupakan hal yang langka. Why? Karena saya biasanya yang rutin melakukan penarikan. Maklum, pendapatan saya masih berasal dari orang tua. Apakah itu makan, bayar kontrakan, uang kuliah, hingga hal-hal kecil lainnya. Semua dana berasal dari sana. Terima kasih bapak dan ibu. :-)

Sesampai di depan pintu masuk bank. Eh, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam dengan sendirinya. Padahal tidak menggunakan pintu otomatis yang seperti digunakan di sebagian besar pusat perbelanjaan modern. Sama sekali tidak. Hanya menggunakan tuas manual. Oh, ternyata ada Pak Satpam toh yang sudah tersenyum ramah membukakan pintu. Terima kasih Pak Satpam. Senyuman Anda membuat kepala saya yang sudah 'berasap' menjadi 'adem' seketika. Kemudian saya mengambil nomor antrian. Hmm. Saya dapat urutan ke 201. Saya pun curi-curi pandang ke arah resepsionis yang cantik-cantik dan terlihat segar bugar. Terkadang saya berpikir "Kok bisa yah, para resepsionis itu tampil fresh tiap hari dari pagi hingga sore. Melayani para nasabah. Belum lagi ada saja nasabah yang membuat sedikit 'kesal'?". Salut saya dengan ke-ramahtamah-an mereka. Setelah melihat wajah-wajah mereka yang bisa membuat hati langsung 'berbunga-bunga', sambil nari-nari India dan melantunkan lagu Kuch Kuch Ho Ta Hai :D, pandangan saya arahkan ke layar LCD.

Menatap lamat-lamat setengah percaya. Kaget. Entah kesel atau sangat kaget. Di dalam kotak hitam tersebut tertuliskan angka 168. Iya, sekarang baru antrian 168. Sambil memegang nomor antrian. Sedikit mengintip pelan-pelan. Masih lama saudara-saudara.. Hufh.. Saya langsung tarik napas dalam-dalam.

Acara tarik napas lalu saya alihkan dengan mengambil kertas untuk melakukan penyetoran. Saya tuliskan semua keterangan yang diminta. Saya tuliskan nominal yang akan ditabung. Terakhir, tak lupa saya bubuhkan tanda tangan. Administrasi pertama sudah selesai. Tinggal tahap berdiri lama saja. Berdiri lama? Iya, saya tidak bisa duduk sedikitpun. Semua sela-sela kursi sudah terisi. Tidak menyisakan ruang kosong. Toh, sekalipun ada tempat kosong itu sudah jadi incaran sepasang mata yang siap 'menerkam'.

Dengan muka lesu, saya bergabung dengan 'para survivor' lainnya yang sudah dalam posisi berdiri. Setidaknya, saya masih ada temannya. Teman berdiri berjam-jam. Sambil memanggul tas punggung, saya pun mengeluarkan headset. Memasangkannya di kedua telinga. Tenggelam dalam alunan musiknya.

Memandang para resepsionis yang sibuk menghitung lembaran-lembaran uang kertas. Waktu itu, hanya ada dua resepsionis saja yang aktif, satunya lagi sedang non aktif - istirahat. Itu pun satu di antara dua yang aktif sambil mengurusi nasabah baru. Mereka yang akan membuka lapak baru eh tabungan baru.

Saya pun mengelap keringat. Padahal tidak ada satupun keringat yang bercucuran. Mungkin saja suhu ruangan tersebut mampu menahan reaksi panas. Ah. Antrian masih panjang. Masih 20 antrian lagi. Untung saja, resepsionis yang istirahat tadi mengganti statusnya menjadi "aktif". Antrian yang tadinya berjalan seperti keong, mulai menambah kecepatannya. Tapi masih ada faktor kedua. Jumlah uang yang disetorkan/ditarik oleh nasabah menentukan akselerasi antrian. Belum lagi, ada yang menyetorkan uangnya hingga bergepok-gepok uang kertas. Itupun dihitung ulang, hingga yakin tidak ada selembar uang pun yang "terselip". Saya pun tetap kokoh berdiri. Tidak bergeming sedikit pun.

Di akhir-akhir, badan saya pun mulai gemetaran. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 lewat. Nasabah pun datang pergi silih berganti. Menggantikan nasabah yang sudah selesai melakukan transaksi. Saya memandang lurus layar datar. Sudah antrian yang ke-187. Masih 13 nasabah lagi. Nah. Di saat genting seperti ini. Entah mengapa seorang bapak setengah baya, mengajak saya mengobrol. Sontak saya langsung kaget. Wong, saya tidak mengenal identitasnya.

"Dek, antriannya nomor berapa?", tanya si Bapak sambil mengeluarkan nomor antriannya.
"Nomor 201, Pak. Masih lama, Pak", sambil tersenyum malu-malu, saya menunjukkan nomor antrian.
"Pakai ini saja.", sambil menyodorkan nomor antrian 192.
"Terus, Bapak?" tanda tanya besar di kepala saya.
"Oh.. Tenang saja. Saya ada kok.", si Bapak menunjukkan nomor antrian lain bertuliskan 190.
"Terima kasih banyak ya, Pak" memegang nomor antrian 192. Memasukkan nomor antrian 201 ke dalam saku celana.

Alhamdulillah. Bayangan berdiri sampai menjadi patung Liberty yang membawa obor, sirna sudah. Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah SWT. Terima kasih banyak, Pak. Dan kebaikan itu mengalir begitu saja. Akhirnya, sampailah pada giliran saya. Dengan semangat perjuangan patriot 45, saya menghampiri meja resepsionis. Sapa khasnya ala bintang Hollywood-nya mampu membuat saya ikutan tersenyum.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak", sapa resepsionis tersebut. Pak? Maaf Mba, saya ini masih mahasiswa dan belum berkeluarga. Mungkin sapaan seperti Bapak, Ibu, Ade sudah menjadi hal yang mendasar bagi seorang resepsionis seperti mereka.

"Mau nabung, Mba" saya menyodorkan buku tabungan, sejumlah uang, dan kertas setoran tadi. Kemudian, dia menghitung ulang dengan sangat tangkasnya. Kalau dilihat secara sepintas mirip kita 'menjentikkan' tangan.

"Uangnya pas ya, Pak.". Eh. Pak lagi. Tak apalah mungkin itu bukanlah hal yang aneh. Memasukkan data keuangan yang baru. Memperbarui besar saldo tabungan saya. Ketika transaksi akan dicetak di buku tabungan, si Mba berkata balik.

"Buku tabungannya sudah penuh ya, Pak. Saya ganti dengan yang baru dulu ya, Pak. KTP-nya dibawa?". Duhai, ini si Mbak kata-katanya lemah lembut sekali. Ramah tamah. Tak lupa sambil tersenyum menawan pula. Orang mana coba yang tidak senang kalau dilayani seperti ini?.

Saya pun mengeluarkan KTP (bukan e-KTP) dan menyodorkan ke si Mba Manis.. Si Mba Manis? Iya, Mba Manis yang berperawakan tinggi, berhias dengan senyum menawan, dan cantik pula. :-) .

"Tunggu sebentar ya, Pak. Buku tabungannya akan diganti dengan yang baru.".

Kemudian saya mundur beberapa langkah mempersilakan antrian berikutnya. Berdiri tegap seperti posisi semula. Saat tengok kiri kanan, saya teringat akan nomor antrian yang ada di saku celana. Kenapa saya tidak memberikannya kepada orang lain?. Toh, saya juga sudah selesai administrasinya. Hanya menunggu pergantian buku tabungan yang baru. Apa salahnya saya meneruskan kebaikan yang diberikan oleh si Bapak sebelumnya?. Atau lebih tepatnya saya tertular kebaikan dari si Bapak sebelumnya. Si Bapak yang rela memberikan nomor antriannya kepada saya. Saya pun mengambil nomor antrian 201 tadi. Awalnya, saya ingin memberikan kepada si Bapak yang berdiri bersebelahan dengan saya. Namun...

"Pak, nomor antrianya berapa?" tanya saya kepada si Bapak yang berdiri di samping kiri.

"Ada apa ya?". Si Bapak menunjukkan nomor antrian 197.

"Oh, saya kira tadi nomor antrian Bapak di bawah saya. Ternyata... " sahut saya. Malu. Ternyata, nomor si Bapak tersebut mendahului nomor antrian saya.

"Kasihkan ke si Mba ini saja. Nomor antriannya berapa, Mba?" timpal si Bapak sambil tengok belakang.

Si Mba yang masih misterius tersebut mengeluarkan nomor antriannya 230. Sontak, saya kaget. Saya saja yang antrian 201 bisa menunggu berjam-jam. Apalagi 230. Bisa-bisa pulang menjelang petang. Entah, atas landasan apa saya langsung memberikan nomor antrian tersebut ke si Mbak tadi. Si Mbak ini bukanlah wanita yang lebih tua dari saya loh. Tapi, dia adalah seorang mahasiswi. Bisa jadi angkatan di bawah saya. Terlihat dari wajahnya yang masih tergolong baru. Masih fresh. Berbeda dengan saya yang sudah tingkat akhir. Mahasiswa TA (Tingkat Akhir) yang sedang menyusun TA (Tugas Akhir).

"Terima kasih banyak ya, Mas" kata si Mbak tadi sambil menundukkan badan menirukan penghormatan  ala orang Jepang. Saya jadi tidak enak. "Iya. Sammma... sammmaaa." sahut saya terbata-bata.

Saya hanya meneruskan kebaikan dari si Bapak sebelumnya Mba. Iya. Meneruskan pesan yang disampaikan melalui 'nomor antrian' yang diberikan sebelumnya. Pesan kebaikan. Pesan untuk meneruskan kebaikan kepada orang lain. Dan, bisa jadi Mba juga akan meneruskan kebaikan yang saya berikan kepada orang lain. Hingga berantai menjadi pohon kebaikan. Dari akar hingga pucuk daun. Mungkin bisa jadi pucuk-pucuk daun tersebut akan tetap tumbuh. Tumbuh dan terus tumbuh. Menjadi pohon kebaikan yang sangat rimbun dan teduh.

"Pak Sapar!" sapa lembut si Mba Manis membuyarkan lamunan saya.

Saya pun maju ke meja resepsionis untuk mengambil buku tabungan yang baru. Membubuhi tanda tangan yang hanya dapat dilihat menggunakan pencahayaan khusus. Mengecek sekilas saldo terakhir. Memasukkannya ke dalam tas. Pergi keluar meninggalkan pelajaran "menularkan" kebaikan hari tersebut. SPY - ^_(@KontrakanBalebak).

2 komentar: